Senin, 31 Maret 2008

ludruk dan aset budaya

Ludruk sebuah asset budaya Surabaya

Apabila kita memundurkan waktu pada beberapa dekade saja maka kita akan menjumpai sebuah gambaran yang tentunya sangat asing pada masa sekarang ini, ketika kita melihat geliat semarak ludruk pada era 1970-an maka tentunya tidak akan ada keluhan dari para pemain ludruk Irama budaya yang sekarang ini sedang kembang kempis dan mengeluh tentang sepinya penonton yang datang pada acara pementasan mereka, juga tidak ada keluh kesah tentang bayaran mereka yang sekal tampil hanya senilai satu bungkus nasi warungan yakni hanya 5000 rupiah saja.
pada era keemasan mereka, ludruk menjadi suatu lahan yang sangat menggiurkan sebagai tempat menggantungkan nafkah mereka, juga menjadi tontonan yang selalu dinantikan. para penontonnya pun berdesak desakan.
maka bukan suatu yang aneh bila disetiap daerah selalu saja ada"tanggapan "ludruk.massa tersebut merupakan massa keemasan ludruk.
bagaimana dengan ludruk sekarang ini ?
seiring dengan perkembangan zaman dan semakin majunya media informasi, ludruk mulai terdepak dari minat masyarakat yang sudah beralih ke media lain yang dianggap lebh menghibur.mula terdepaknya kesenian ludruk ini salah satunya diakibatkan oleh arus deras globalisasi dan informasi, bisa jadi fenomena ini tidak hanya terjadi pada ludruk saja tetapi juga dalami oleh kesenian tradisional yang lain.sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional harus mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi.kalau kita mencermati ada beberapa seni pertunjukan yang bisa tetap eksis walaupun mengalami perubahan fungsi.
ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentranformasikan diri, dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat dewasa ini.
sekalipun tidak sesering dan secepat seni modern,seni tradisi juga mengalami perkembangan, misalnya ketoprak dan wayang.
sebenarnya secara umum hiburan kesenian tradisional ludruk hampir sama dengan ketoprak,maka sebenarnya alternatif penyelesaiannya juga bisa mencontoh pola eksistensi ketoprak.
dari segi bentuk pementasan atau penyajian ketoprak merupakan kesenian tradisonal yang telah tebukti bisa beradaptasi dengan kemauan zaman. para pengelolah ketoprak tidak hanya meratapi gencarnya serangan teknologi,namun justru datangnya teknologi dan media informasi tersebut dihadapi dan diatasi. ketika ketoprak panggung dijauhi pemirsa karena banyaknya alternatif hiburan yang lain, seperti melalui radio,televisi,vcd dan film, mereka justru menggunakan media elektonka tersebut sebaga alternatif baru untuk menghidupkan sekaligus melestarikan kesenian ketoprak.
disamping ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan hidup dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit.beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti kimanteb dan ki anom suroto atau juga yang lokal seperti ki sunaryo yang merupakan wakil gubernur jatim atau juga ki Entus yang memberikan sentuhan campursari disela sela acaranya pun juga ki slamet gundono dengan wayang opo manehnya, tetap diminati masyarakat. keberanian TPI dan juga Indosiar (televisi nasional) menayangkan ketoprak dan wayang merupakan bukti eksistensi dan minat masyarakat terhadap khazanah kebudayaan nasional kita.

bagaimana dengan ludruk Surabaya?
kondisi ludruk di surabaya dapat dibedakan menjadi tiga kondisi (itupun memang karena ludruk yang eksis di surabaya cuma ada tiga).yaitu ludruk Kartolo cs, ludruk RRI Surabaya,dan ludruk Irama budaya.
ludruk kartulo cs,sebenarnya cara cara seperti itu juga dilirk jtv,kita bisa melhat seni ludruk dengan ludruk kartolo cs nya jtv, walaupun tentunya dengan kompromi menghilangkan pakem pakem khas ludruk seperti ngremo sebagai tarian pembuka, juga jula juli serta bedhayan.
ludruk RRI Surabaya, dengan peranan lembaga penyiaran pemerintah (RRI), ludruk RRI Surabaya yang dipimpn oleh Haji Agus Kuprit,bisa tetap eksis itupun juga ditambah peranan sponsor setia mereka yaitu tablet esepuluh.
sedangkan yang terakhir adalah ludruk Irama Budaya yang berhome base di daerah wonokromo,kelompok ludruk ini benar benar kembang kempis untuk mempertahankan eksistensinya, dengan jumlah penonton yang dapat dihitung dengan jari serta harga tiket yang cuma 3000 rupiah.selain 3 kelompok ludruk tersebut tidak ditemukan lagi ludruk yang eksis di surabaya,sebuah kenyataan yang tragis memang. tinggal kemauan dari semua pihak untuk dapat memperhatikan kesenian tradional khas yang menjadi bagian dari perkembangan surabaya.who care?

Tidak ada komentar: