Selasa, 03 Juni 2008

Mencari Pahlawan di Surabaya


Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail

Memperingati Hari Jadi Surabaya tidak akan lepas dari semangat pahlawan yang muncul silih berganti sesuai zamannya. Sebut saja Bung Tomo, Mayjen Sungkono, HR Muhammad, Residen Sudirman, dan tentu saja arek-arek Suroboyo untuk menyebut semua yang terlibat dalam pembangunan kota ini.

Spirit kepahlawanan ini diawali sejak pertempuran di daerah Ujung Galuh oleh Raden Wijaya ketika mengusir tentara Tartar dari Tiongkok. Inilah yang kemudian dikenal sebagai spirit juang masyarakat Surabaya.

Spirit yang sama ada pada kisah perjuangan Adipati Jayengrono yang menjadi adipati pertama Surabaya. Awalnya dia tidak mau membela Mataram melawan rakyat Pasuruan yang dipimpun Untung Suropati karena tahu Belanda berniat mengadu domba. Namun ketika Mataram menyerang dengan membendung Sungai Brantas sehingga masyarakat tak mendapat air, Jayengrono mengorbankan diri agar rakyat tidak menjadi korban.

Kepahlawanan ini mencatat lebih banyak nama seiring perkembangan zaman. Pada masa pergerakan kemerdekan Surabaya menjadi tempat para tokoh perjuangan kemerdekaan lahir dan digodok. Jalan Peneleh Gang 7 Surabaya merupakan rumah HOS Tjokroaminoto, para tokoh pergerakan kemerdekan belajar berorganisasi dan menuntut ilmu. Di sinilah Soekarno, Muso, dan beberapa tokoh pergerakan Sarekat Islam menempa diri.

Tetapi setelah Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo berjuang pada 10 November 1945, masihkah Surabaya pantas disebut sebagai Kota Pahlawan? Berbagai masalah menghinggapi kota ini sehingga kita malu-malu menyebut diri sebagai Kota Pahlawan. Samar-samar kita dengar sebutan lain untuk kota ini seperti kota bonek (anarkhisme), kota pelacur (pesatnya pelacuran di Surabaya), juga kota sampah dan kota banjir.

Di tengah situasi ini pahlawan yang diperlukan sekarang tentunya berbeda dengan pahlawan era lampau. Pada pahlawan adalah seseorang yang rela berjuang tanpa pamrih, konsisten, dan membawa perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Musuh yang dihadapi sekarang bukan tentara Tartar atau penjajah Belanda, melainkan kemiskinan, rendahnya pendidikan, pelacuran, anak telantar, pengangguran, juga masalah lingkungan seperti sampah dan banjir.

Mestinya dengan rendah hati kita mau menyebut nama Ustad Khoirun Syuaib yang berdakwah untuk mengentaskan PSK dan mucikari di daerah Bangunsari, Sriatun Djupri yang berusaha menyosialisasi pemilahan sampah pada masyarakat, Prof Johan Silas dengan segala kiprahnya dalam pengembangan lingkungan dan kota. Atau Pak Hwie, pemilik Perpustakaan Medayu Agung yang membuka koleksi pustaka swadayanya untuk masyarakat.

Oleh:doni Fahamsyah Setia Budi
Mahasiswa Ilmu Sejarah Unair